Sabtu, 03 Desember 2016

Sejarah Upacara Budaya Perang Obor di Jepara 
images.jpg
BERMULA DARI KERBAU YANG DI TELANTARKAN
Sejarah
Pada jaman Kerajaan Demak, konon di Desa Tegalsambi, Jepara, tinggal seorang petani kaya bernama Kiai Babadan yang banyak sekali memiliki kerbau dan sapi. Tentu ia tidak dapat mengembalakan sendiri ternak-ternaknya. Ia kemudian meminta tetangganya yang bernama Ki Gemblong untuk menggembalakan ternaknya.

Meski berat, Ki Gemblong menyanggupi pekerjaan ini. Namun Ki Gemblong tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan kesanggupanya. Sebaliknya ia menelantarkan kerbau dan sapi milik Kiai Babadan sehingga hewan itu menjadi kurus dan penyakitan.

Pada awalnya memang Ki Gemblong masih bisa menyembunyikan keadaan itu. Namun akhirnya Kiai Babadan mengetahui. Ia menjadi geram ketika melihat bahwa kondisi ternak miliknya yang kurus dan sakit-sakitan itu dibabkan oleh keteledoran yang disengaja oleh Ki Gemblong. Oleh karena kegeramannya yang memuncak, maka Kiai Babadan menghajar Ki Gemblong dengan mengunakan obor dari pelepah kelapa.

Menerima perlakuan yang demikian ini, Ki Gemblong ternyata tidak tinggal diam. Ia juga segera mengambil pelepah daun kelapa untuk melanjutnya dinyalakan sebagai obor untuk menghadapi Kiai Babadan. Dengan demikian terjadilah pertarungan atau perang obor antara Kiai Babadan dan Ki Gemblong.

Bukannya makin mereda, pertarungan ini semakin lama semaki sengit. Serunya pertarungan mengakibatkan terbakarnya kandang sapi dan kerbau. Seluruh hewan di dalam kandang pun akhirnya lari tunggang-langgang ketakutan. Namun demikian aneh sekali bahwa ternak yang semula berpenyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan seperti itu mereka berdua pun akhirnya mengakhiri perkelahian mereka.

Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Tegalsambi, sejak itu, anak-cucu Kyai Babadan dan Ki Gemblong lalu melakukan upacara perang obor ini dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang mendatangkan penyakit. Upacara itu dilengkapi pula dengan pergelaran wayang kulit. Ada prosesi untuk mengarak pusaka (Pedang Gendir Gambang Sari dan Podang Sari, sebuah arca, dan sebuah beduk dobol) yang dipercayai sebagai warisan sunan Kalijaga kepada Kebayan Tegalsambi. Kedua pedang kayu itu, konon, merupakan serpihan kayu yang dipakai membangun Masjid Demak

Simbol-simbol upacara

Peralatan utma yang dibutuhkan dalam upacara perang obor ini adalah pelepah daun kelapa kering (blarak). Selain itu jaga dibutuhkan daun pisang kering sebagai campuran bahan pembakar daun kelapa tersebut. Campuran pelepah daun kelapa kering dengan daun pisang ini kemudian ditata dengan bentuk tertentu sehingga bisa digunakan untuk memukul ataupun menusuk lawan. Pakaian yang digunakan saat ini sudah menggunakan seragam khusus untuk acara ini.

Pada saat ini para “pemain“ cendrung menggunakan pakaian yang bisa melindungi badan mereka dari pukulan obor yang bisa membuat kulit menjadi melepuh. Jadi peralatan obor yang terbuat dari daun kelapa dan daun pisang kering merupakan peralatan yang mememang sesuai dengan apa yang diceritakan dalam legenda Kyai Babadan dan Ki Gemblong.

Sedangkan obor dapat mempresentasikan sebuah symbol yang merupakan alat untuk mengusir kekuatan jahat yang mendatangkan penyakit dan berbagai mala petaka lain. Peralatan lain yang digunakan adalah beberapa benda yang dipandang keramat oleh masyarakat Desa Tegalsambi yang diarak pada waktu prosesi perang obor akan berlangsung yaitu sebuah arca, dua pedang kayu, dan bedug.

Prosesi upacara

Perang obor itu dilakukan oleh sekitar 50 orang warga desa. Jika kulit melepuh atau lebam kena gebuk akibat perang itu, luka tersebut bisa dipulihkan dalam sekejap dengan olesan air londoh. Oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai keajaiban dari Tuhan. Hal semacam ini bukan hanya diyakini oleh masyarakat awam namun juga dari pimpinan dari desa itu. Namun demikian para perangkat desa tidak mau menjelaskan air londoh itu berasal dari mana dan apa formulanya.

Biasanya upacara ini dilakukan pada bulan Zulhijjah, tepat malam Selasa Pon. Sebelum acara perang obor dimulai, terlebih dahulu diadakan selamatan di tujuh tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Tegalsambi. Setelah itu dilakukan penyembelihan seekor kerbau jantan muda yang belum pernah dipakai untuk membajak. Penyembelihan ini dilakukan di rumah kepala desa. Pada pukul 17.30 WIB (menjelang malam Selasa Pon) Salah satu perangkat desa (biasanya bayan / seksi keamanan) menaruh sesajen (berupa kendil berisi darah kerbau, sebagian jeroan, dan daging yang sudah dimasak). Menjelang pukul 20.00 WIB, sepanjang jalan menuju rumah petinggi dipadati ribuan pengunjung baik dari desa setempat maupun desa-desa lain. Sebelum api obor disulut pada pukul 20.00 WIB, petinggi diarak oleh pasukan obor mulai dari rumahnya hingga ke pusat upacara, di perapatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat jawa, diapit dua pawang api dan sesepuh desa.

Tepat pukul 20.00 upacara perang obor dimulai. Para peserta memakai seragam khusus bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon restu kepada dayang (penguasa bumi Tegalsambi) pun dilakukan. Kemenyan dibakar, kemudian diiringi gending Kebo Giro, 50 orang dari empat jurusan di jalan desa menghambur ke perampatan jalan dengan obor blarak yang menyala. Perang pun dimulai dan berlaangsung selama hampir satu jam.

Sesuai upacara perang obor banyak anggota pasukan obor yang tangannya terluka lecet. Sekitar satu jam “peperangan” usai para anggota pasukan langsung menuju ke rumah kepala desa untuk mengobati luka dengan air kembang dari pusaka desa bernama Ki Songgo Buwono yang ruwat dirumah kepala desa. 

1. Perang Obor Jepara

Ini merupakan upacara sakral yang sangat dinanti-nantikan masyarakat Jepara. Kebudayaaan adat perang obor ini merupakan upacara tradisionla yang diadakan di kota Jepara tepatnya di desa tegal sambi setiap senin pahing pada bulan Dzulhijjah.

Obor-obor tersebut dibuat dari bahan pelepah kelapa yang dimainkan dengan cara di benturkan antara satu dengan lainnya. Dari benturan pelepah kelapa kering itulah yang menyebabkan percikan dan gumpalan api besar sehingga seperti perang api pada jaman dahulu kala.

Kegiatan ini sangat ramai dikunjungi oleh warga sekitar kota Jepara bahkan luar kota. Ini merupakan sebuah adat istiadat tradisional ang sedah lama terjadi dan turun-temurun hingga saat ini. Untuk menikmati pertunjukan ini anda tidak dipungut biaya, namun jika ingin melihat jangan dekat-dekat ya, nanti terkena sambaran api panas.

Sejarah Perang obor Di Jepara
P
ada sekitar abad XVI, konon di tegal sambi tinggal seorang petani yang sangat kaya bernama ki babadan. Ia seorang petani yang ulet,rajin dan pekerja keras. Ia memiliki sawah yang luas dan hasilnya sangat melimpah. Ia kemudian mengembangkan usahanya kebidang peternakan. Dari pertanianya, ia membeli kerbau dan sapi yang sangat banyak.
Karena tidak dapat mengembalakan sendiri ia kemudian mencari orang yang mau dipekerjakan untuk merawat sapi dan kerbaunya. Kebetulan di desa itu ada seorang yang bernama ki gemblong.ia kemudian di beri kepercayaan untuk mengembalakan ternaknya . pada awalnya ki gemblong melaksanakan tugas dengan baik sehingga sapi dan kerbau milik ki babadan dapat terawat dengan baik dan berkembang.
Namun ketika ki gemblong menemukan banyak sekali ikan dan udang di sawah dan sungai sekitar tempat pengembalaanya ia mulai tertarik. Lama-kelamaan ki gemblong mulai mengabaikan hewan piaraanya. Ia mulai menelantarkan kerbau dan sapi yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga hewan itu menjadi kurus dan penyakitan. Bahkan ada yang mati.
Ki gemblong tidak lagi memperdulikan apakah sapi dan kerbau yang di gembalakanya memperoleh makanan dan minuman yang cukup atau tidak .demikian juga ia tidak mau untuk membersihkan  dan memandikan ternak-ternak yang di gembalakanya itu oleh sebab itu tidak mengherankan jika ternak milik ki babadan menjadi kurus kering dan sakit –sakitan pada awalnya  memang ki gemblong menyambunyikan keaaan itu. Namun pada ahirnya ki babadan pun mengetahui keadaan sapid an kerbaunya .ia menjadi marah ketika melihat ahwa kondisi ternak  miliknya yang kurus dan sakit-sakitan karena keteledoran yang di sengaja oleh ki gemblong.
Oleh karena kemarahanya yang memuncak maka kiai babadan menghajar ki gemblong menggunakan obor dari pelepah kelapa. Menerima perlakuan demikian ki gemblong teryata tidak tinggal diam. Ia juga mengambil pelepah daun kelapa untuk selanjutya dinyalakan sebagai obor untuk melawan ki babadan.dengan demikian terjadinya pertarungan atau perang obor antara ki babadan dan ki gemblong. Pertarungan ini makin lama bukan semakin mereda tetapi justru sebaliknya bertambah seru. Percikan api yang di timbulkan semakin besar dan mengakibatkan terbakarnya kandang sapid an kerbau.akibatnya kerbau dan sapi yang ada dikandangpun lari tunggang langgang ketakutan.
Namun aneh sekali saat terkena percikan api, ternak yang semula penyakitan malah menjadi sembuh. Setelah mengetahui kenyataan itu  mereka berduapun akirnya menghentikan perkelahian mereka. Mereka kemudian mengumpulkan kembali sapi itu, membuatkan kandang yang lebih baik.
Berdasarkan tradisi lisan yang berkembanag dikalangan masyarakat tegal sambi, sejak itu anak cucu kiai babadan dan I gemblong lalu melakukan upacara perang obor di tegal sambi untuk mengenang kedua tokoh tersebut.upacara perang obor ini sekaligus dimaksudkan untuk mengusir segala roh jahat yang mendatangkan penyakit dan mengganggu penduduk tegal sambi.
Upacara ini kemudian dilengkapi dengan pagelaran wayang kulit. Juga ada prosesi mengarak dua pusaka yaitu dua buah pedang yaitu pedang gendir dan pedang gampang serta sebuah bedug dobol, yang di percayai sebagai warisan sunan kalijaga kepada dua orang kebayanleger tegal sambi waktu itu.kedua pedang kayu itu knon meruakan serpihan kayu potongan reng yang di pakai membangun masjid demak. Pusaka ini disimpan oleh petinggi dan dua kebayan leger.
Sedangkan obor pada upacara tradisional ini adalah gulungan dua atau tiga pelepah klapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering yang dalam bahasa jawa disebut kelaras. Obor yang telah tersedia dinyalakan bersama untuk di gunakan sebagai alat untuk saling menyerang sehingga terjadi benturan obor yang dapat mengakibatkan pijaran api yang besar yang ahirnya masyarakat menyebutnya dengan istilah perang obor.
Upacara tradisional perang  oboryang di adakan setiap setahun sekali, yang jatuh pada hari senin pahing malam selasa pon bulan besar atau dzulhijah. Acara ritual ini diadakan atas dasar kepercaan masyarakat desa tegal sambi terhadap peristiwa pada masa lampau yang terjadi di desa tersebut yaitu tentang peperangan ki babadan dan ki gemblong.
Tradisi perang obor merupakan ungkapan rasa terimakasih masyarakat tegal sambi kepada tuhan yang telah member rezeki kepada masyarakat desa tegal sambi melalui hasil pertanian dan juga usaha yang lain. Biasanya upacara ini dilakukan pada bulan zulhijah,tepat malam selasa pon.
Sebelum acara perang obor di mulai, terlebih dahulu diadakan selamatan di tujuh tempat yang dikeramatkan masyarakat tegal sambi. Setelah itu dilakukan penyembelihan kerbau jantan muda yang belum pernah dipakai untuk membajak. Penyembelihan itu dilakukan di rumah petinggi dan biasanya dilakukan oleh kebayan leger desa ini. Sedangkan sesajen di taruh di sebuah kendil yang terdiri dari darah kerbau, jeroan  dan daging yang sudah di masak. Sesaji ini di peruntukkan bagi para danyang yang dipercayai ikut menjaga keselamatan desa tegal sambi.
Sebelum api obor disulut ,petinggi tegal sambi diarak oleh kurang-lebih 50 pasukan obor. Prosesi ini di mulai dari rumah petinggi hingga kepusat upacara di perempatan jalan tengah desa. Petinggi mengenakan pakaian adat jawa diapit pawing api dan sesepuh desa.tepat pukul 20.00 upacara perang obor dimulai. Para peserta memakai seragam kusus, bersepatu dan bertutup kepala. Doa-doa memohon keselamatan kepada allah dan juga ijn dari danyang pun dilakukan. Kemenyan di bakar kemudian diiringi gending kebo giro, sebanyak 50 orang dari empat jurusan di jalan desa tegal sambi berjalan menuju ke perempatan jalan. Mereka sejenak berdiri saling berhadapan dalam kondisi obor telah dinyalakan.
Tibalah saat ritual perang obor. Tiba-tiba dengan suara keras seorang pemimpin pasukan berteriak, serang… mendengar teriakan itu, anggota pasukan lari dari epat arah berlawanan di perempatan jalan.mereka bertemu di tengah dan langsung saling hajar. Api yang berkobar di ujung obor mereka arahkan ke kepala lawanya. Upacara berlangsung bukan hanya di perempatan desa tetapi juga di sepanjang  jalan perempatan. Diiringi sorak-sorak dan jerit ketakutan para peonton, mereka saling pikul dengan obor selama hamper satu jam.percikan bunga api perang obor ini menjadi pemandangan yang begitu magis.
Sesuai upacara perang obor pasukan perang obor langsung menuju rumah petinggi tegal sambi. Diantara merka dipastikan ada yang luka karena terbakar. Namun mereka tidak mengeluh atau merasa kesakitan. Sebab mereka tahu bahwa secara turun temurun pengobatan luka bakar karena perang obor dapat dilakukan oleh istri petinggi dengan cara mengoleskan minyak londoh pada bagian yang luka. Anehnya, luka ini langsung sembuh seketika.
Secara turun temurun setiap malam jum’at, petinggi tegal sambi dan dua kebayan leger selalu mengadakan ritual doa untuk keselamatan masyarakat di desa tersebut. Do’a tersebut dilakukan secara rutin dan sungguh-sungguh dalam ritual ini menggunakan sesaji kembang telon dengan tekun petinggi tegal sambi mengumpulkan bunga yang kering dan di simpan di sebuah tempat khusus.

Jika waktu prosesi perang obor tiba, bunga kering ini kemudian dicampur dengan minyak kelapa dengan disertai do’a dan laku khusus. Minyak inilah yang kemudian dikenal sebagai minyak londoh minyak londoh ini oleh masyarakat semtempat ini di pandang sebagai keajaiban dari do’a yang tulus kepada Allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar